BAB I
PENDAHULUAN
Meski begitu besarnya fungsi
dan kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran al-Karim, namun
seperti dicatat dalam sejarah, ternyata penulisan dan kodifikasi Hadis secara
resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu lamanya
rentang antara waktu sejak meninggalnya Rasulullah saw. hingga waktu kodifikasi
Hadis.
Dalam perjalanan sejarah Hadis,
banyak muncul Hadis-Hadis palsu yang diterbitkan oleh beberapa golongan untuk
tujuan tertentu baik politik seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah, atau
ekonomi seperti pemalsuan hadis yang menyatakan bahwa melombakan merpati adalah
seuatu hal yang disuruh Rasul, fanatisme terhadap sebuah ajaran atau golongan seperti
hadis yang mengatakan bahwa Rasul telah memberikan kepemimpinan kepada Ali.
BAB II
HADITS MAUDHU'
A. Pengertian Hadits Maudhu'
Dari segi bahasa, maudhu’ berarti
bentuk ism maf’ul dari kata kerja wadha’a yang berarti
mengada-ada atau membuat-buat.[1]
Bila dikaitkan dengan Hadis maka berarti mengada-adakan Hadis atau
memalsukan Hadis. Menurut ilmu Hadis, Hadis maudhu’ berarti Hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. yang Rasulullah saw. sendiri tidak pernah
mengerjakan, berbuat dan memutuskannya.[2]
Dalam sumber lain dikatakan
bahwa Hadis maudhu’ berarti kebohongan yang dibuat dan diciptakan serta
disandarkan kepada Rasulullah saw.[3]
Dari beberapa defenisi di atas
dapat terlihat adanya beberapa kesamaan unsur tentang tanda adanya pemalsuan Hadis,
yaitu:
1. Adanya unsur kesengajaan.
2. Ada unsur kebohongan atau ketidaksesuaian dengan
fakta.
3. Ada penisbahan kepada Rasulullah saw. berupa
ucapan perbuatan atau pengakuan.
B. Faktor-Faktor yang Melatari Hadis Maudhu’
Beberapa faktor yang disebut
oleh para ahli yang melatari munculnya Hadis maudhu’, di antaranya adalah:
1. Politik.
Setelah Utsman bin Affan
wafat, timbul perpecahan di kalangan ummat Islam dengan lahir pendukung masing-masing
kelompok yang berseteru, seperti kelompok pendukung Ali, pendukung Mu’awiyah
dan kelompok ketiga yakni Khawarij yang muncul setelah terjadinya perang
Shiffin.[4]
Dari tiga kelompok tersebut, Syi’ahlah yang pertamakali melakukan pemalsuan. Hadis
yang dibuat oleh kelompok Syi’ah adalah:
على خير البشر من شك فيه كفر
"Ali adalah orang terbaik, barang siapa yang
meragukannya maka ia telah kafir"
Sedangkan Hadis yang dibuat
oleh kelompok Mu’awiyah adalah:
ألا صفاء عند الله ثلاثة أنا و جبريل و
معاوية
"Ingatlah! Yang suci menurut Allah swt. hanya
tiga, saya, Jibril dan Mu’awiyah"
Sementara kelompok Khawarij
tidak membuat Hadis yang sesuai dengan keyakinan mereka bahwa berbohong adalah
dosa besar dan pelaku dosa besar adalah kafir.[5]
2. Musuh Islam (Zindiq).
Di antara nama-nama
orang-orang zindiq yang memalsukan Hadis adalah Muhammad ibnu Said al-Samiy.
Dia meriwayatkan Hadis yang diakuinya
berasal dari Humaid dari Anas dari Rasulullah saw. berbunyi:
أنا خاتم النبيين لا نبي بعدى إلا أن يشاء
الله
"Aku adalah penutup para nabi-nabi, tidak
ada nabi setelahku kecuali Allah swt. Menghendakinya"
Tokoh lainnya adalah Abdul
Karim ibnu al-Auza’ yang telah memalsukan sebanyak 4000 Hadis yang berhubungan
dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Mereka memalsukan Hadis
untuk tujuan mengkaburkan dan menghilangkan kemurnian agama dalam pandangan
ahli fikir dan ilmu.
3. Fanatisme.
Para pendukung bahasa Persia
menciptakan Hadis yang menyatakan kemuliaan bahasa tersebut, seperti:
إن كلام الذى حول العرش فارسى
"sesungguhnya permbicaraan di sekitar Arsy
adalah menggunakan bahasa Persia"
Sementara kelompok yang
menantangnya membuat Hadis yang lain seperti:
أبغض كلام عند الله فارسى
"Pembicaraan yang paling dibenci oleh Allah
swt. adalah bahasa Persia"
4. Membuat cerita.
Salah satu tujuan menyampaikan
sesuatu melalui cerita adalah bagaimana agar menarik perhatian atau untuk
memperindah hal-hal yang tidak semestinya indah agar pendengarnya merasa
tertarik. Pemalsuan yang terkait dengan hal tersebut adalah:
من قال لا إله إلا الله خلق الله من كل كلمة طير أنقاره من ذهب
و ريشه من مرجان
"Barang siapa mengatakan “tiada tuhan
selain Allah, maka Allah akan menciptakan dari setiap kata-kata tersebut seekor
burung yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari marjan"
5. Perbedaan pendapat.
Seperti:
كل من فى
السماوات و الأرض و ما بينهما مخلوق غير
القرأن
"Setiap sesuatu yang ada di langit dan bumi
serta yang berada di antara keduanya adalah makhluk kecuali Alquran"
6. Semangat yang berlebihan untuk berbuat kebaikan yang tidak dilandasi
permasalahan agama.
Ada anggapan di kalangan
sebagian orang-orang shaleh dan para zahid bahwa untuk tujuan targhib dan
tarhib maka pemalsuan dengan tujuan tersebut tidak masuk dalam kategori
orang-orang yang dilaknat nabi dalam Hadis “barang siapa berbohong atasku
dengan sengaja......”,
7. Untuk mendekatkan diri kepada penguasa.
Ghayyas bin Ibrahim telah
membuat kebohongan melalui Hadis ketika ia memasuki istana al-Mahdi. Pada saat
itu ia melihat al-Mahdi sedang mengadu burung merpati, maka ia mengucapkan
memalsukan sebuah Hadis dengan menambahi matannya.
Selain dari hal-hal tersebut
di atas, masih ada beberapa sebab lain yang mendorong munculnya pemalsuan,
seperti demi memuji sebuah usaha atau pekerjaan tertentu.
C. Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Umat Islam telah sepakat (ijmak)
bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah
haram. Ini terkait dengan perkara-perkara hukum-hukum syarak, cerita-cerita,
targhib dan tarhib dan sebagainya.
Yang menyelisihi ijmak ini adalah
sekumpulan ahli bid’ah, di mana mereka
mengharuskan membuat hadits-hadits untuk menggalakkan kebaikan (targhib),
menakut-nakuti kepada kejahatan (tarhib) dan mendorong kepada kezuhudan. Mereka
berpendapat bahwa targhib dan tarhib tidak masuk dalam
kategori hukum-hukum syarak.
Pendapat ini jelas salah karena,
Rasulullah dengan tegas memberi peringatan kepada orang-orang yang berbohong
atas nama beliau seperti sabdanya “Sesungguhnya pembohongan atas namaku tidak
seperti pembohongan atas siapapun. Siapa yang berbohong atas namaku, maka dia
dengan sengaja menyiapkan tempatnya di dalam neraka”, “Janganlah kamu berbohong
atas namaku, karena sesungguhnya orang yang berbohong atasku akan masuk
neraka”.
Para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah,
sepakat mengharamkan berbohong dalam perkara-perkara yang berkaitan
dengan hukum dan perkara-perkara yang berkaitan dengan targhib dan tarhib.
Semuanya termasuk dalam salah satu dari dosa-dosa besar. Para ulama telah
berijmak bahwa haram berbohong atas nama seseorang, apalagi berbohong atas
seorang yang diturunkan wahyu kepadanya.
Namun yang pasti para ulama berijmak
bahwa haram membuat hadits-hadits maudhu’, yang berarti juga haram meriwayatkan
atau menyebarkan hadits-hadits maudhu’ padahal ia mengetahui dengan yakin atau
zann kedudukan hadits tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang tetap
meriwayatkan dan menyebarkan hadits-hadits maudhu’ dalam keadaan mengetahui
dengan yakin atau zann kedudukan hadits tersebut dan tidak menerangkan
kedudukannya, ia termasuk pendusta atas nama Rasulullah. Ini dijelaskan dalam
sebuah hadits sahih yang berbunyi: “Barangsiapa yang menceritakan satu hadits
dariku dan dia mengira bahwa hadits itu adalah dusta, maka dia termasuk di
dalam salah seorang pendusta”. Oleh sebab itu, ulama mengatakan sudah
seharsunya bagi seseorang yang hendak meriwayatkan sesuatu hadits agar
memastikan kedudukan hadits tersebut.
Tapi jika meriwayatkan hadits-hadits
maudhu’ dan menyebutkan kedudukan hadits tersebut sebagai
maudhu’, tidak ada masalah. Sebab dengan menerangkan kedudukan hadits
tersebut membuat orang bisa bisa membedakan antara hadits yang sahih dengan
yang maudhu’ dan sekaligus dapat menjaga Sunnah dari perkara-perkara yang tidak
benar.[6]
D. Upaya dan Kesungguhan Para Ulama Dalam Mengantisipasi
Hadits Maudhu'
Allah swt. Mengukuhkan umat ini
dengan tokoh-tokoh terpercaya lagi ikhlas. Mereka melawan dan meneliti dengan
sungguh-sungguh para pemalsu hadist, mereka memisahkan yang bathil dari yang
shahih dan mengarahkan berbagai upaya untuk
menjaga syari'ah dan sumber-sumber sejak masa sahabat sampai selesainya
penghimpunan hadist ke dalam karya-karya besarnya. Mereka juga melakukan
penelitian segala sesuatunya, baik berkenaan dengan riwayah maupun dirayah.
Bahkan merumuskan dan melaksanakan berbagai langkah besar guna menjaga sunnah
dari pelecehan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Adapun upaya-upaya
yang ditempuh ulama untuk mengantisipasi hadist maudhu' adalah:
1. Berpegang Pada Sanad
Para sahabat, tabi'in dan ulama
sesudah mereka bersikap sangat ketat dalam menuntut isnad dari para perawi dan
selalu mereka terapkan dalam meriwayatkan hadist, sebab sanad bagi khabar
seperti nasab bagi seseorang. Imam Muhammad Ibnu Sirin Mengatakan "
Mulanya mereka tidak menanyakan sanad dalam menerima satu hadits, akan tetapi
setelah terjadi fitnah, mereka selalu menegaskan, sebutkan perawi-perawimu
kepada kami. Ahlus sunnah diperhatikan dan diambil haditsnya, sementara ahli
bid'ah tidak diperhatikan dan tidak di ambil hadisnya" sedangkan Abdullah
Ibnu al-Mubarak Mengatakan:
الإسناد
من الدين ولو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء
"Isnad merupakan bagian dari agama, dan seandainya tidak
ada isnad tentu orang akan mengatakan sekehendakany"
Demikianlah isnad
mendapatkan perhatian serius sejak masa tabi'in. sampai-sampai merupakan suatu
kewajiban bagi muhaddits untuk menjelaskan asal-usul riwayatnya.
2. Meningkatkan
Semangat Ilmiyah dan Ketelitian Dalam Meriwayatkan Hadist
Sangat jelas kecermatan
dan ketelitian dan kehati-hatian ulama dalam meriwayatkan hadist, zaman dahulu
sahabat mengirimkan para hafiz hadits ke baerbagai daerah guna menyebarluaskan
hadist, semua itu merupakan bukti maraknya kehidupan ilmiah sejak masa awal
islam, semangat ulama dalam menyebarkan hadits, penjelasan yang maqbul dan yang
mardud, dan yang susupan dari yang asli. Kita juga mengetahui bahwa sebagian
tabi'in bila mendengar suatu hadits dari selain sahabat, maka mereka bergegas
untuk menemui sahabat yang masih ada, untuk mengukuhkan keabsahan yang mereka
dengar. Demikian pula yang dilakukan tabi'in terhadap tabi'in besar, at-taba'
at-tabi'in terhadap tabi'in dan begitu juga seterusnya, sehingga perjalanan
menuntut hadist tak pernah putus.
3. Memerangi Para
Pendusta dan Tukang Cerita
Di samping teliti dan
cermat dalam menerima hadits, sebagian ulama memerangi para pendusta dan tukang
cerita serta melarang mereka dan menjelaskan keadaan mereka kepada masyarakat.
Mereka juga melarang masyarakat mendekati para pendusta itu, semua ahli ilmu
juga menjelaskan yang maudhu' kepada murid-murid mereka dan mengingatkan agar
para murid tidak meriwayatkan khabar-khabar dari para pendusta itu.
4. Menjelaskan
Hal-ihwal Para Perawi
Seorang ahli hadits
harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang para periwayat hadits, sehingga
ia bisa menilai kejujuran atau kekuatan hafalannya, sebagai pegangan dalam
membedakan yang sahih dari yang dusta
dan yang baik dari yang buruk. Oleh karena itu, ahli hadis melakukan penelitian
tentang kehidupan para periwayat dan mengenal hal-ihwal mereka. Mereka
melakukan keritik demi mendapatkan pahala dari Allah swt. Bukan karena rasa
takut kepada seseorang. Hal ini telah banyak dijelaskan didalam sub bab al-jar
wa at-ta'dil44.
5. Membuat
Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadits Maudhu'
Para ulama meletakkan dasar-dasar
atau kaidah-kaidah secara metodologis tentang penelitian hadits untuk
menganalisa otentisitasnya, sehingga dapat diketahui mana yang shahih, hasan,
dha'if dan maudhu'. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan standar penilaian suatu
hadits apakah suatu hadits memenuhi criteria sebagai hadits yang diterima atau
ditolak.
E. Ciri-Ciri Hadis Maudhu’
a. Ciri-Ciri Pada Sanad.
1. Berdasarkan Pengakuan dari Orang Yang Memalsukan Hadits.
Terdapat beberapa nama pemalsu
Hadis yang mengakui perbuatannya, di antaranya adalah Abu Isma Nuh ibnu Abi
Maryam tentang keutamaan surat-surat Alquran al-Karim. Abu Karim al-Auza’ yang
memalsukan Hadis halal-haram.[7]
Begitu juga dengan Abu Yazis yang mengaku telah memalsukan Hadis dan menyatakan
bertobat dan minta ampun.[8]
2. Tanda-tanda Yang Bermakna Pengakuan.
Misalnya seorang rawi yang
mengaku menerima Hadis dari seorang guru padahal ia tidak pernah bertemu dengan
guru tersebut, atau ia mengatakan menerima Hadis dari seorang guru, padahal
guru tersebut telah meninggal dunia sebelum ia lahir, seperti Ma’mun Ibnu Ahmad
al-Saramiy yang mengatakan kepada Ibnu Hibban bahwa ia pernah mendengar Hadis
dari Hisyam dan Hammar, Ibnu Hibbanpun bertanya kapan ia ke Syam,yang dijawab
oleh Ma’mun Ibnu Ahmad al-Sarami bahwa ia ke Syam pada tahun 250 H. , padahal
Hisyam meninggal dunia pada tahun 254 H.
3. Adanya Bukti Pada Hal-ihwal Perawi.
Seperti yang disandarkan kepada
Al-Hakim dari Saif bin Umar Al-Tamimi, aku di sisi sa'ad bin tharif, ketika
anaknya pulang dari sekolah dalam keadaan menangis, lalu ia bertanya:
"Mengapa engkau menangis"? anaknya menjawab: " Aku dipukuli
guruku" lantas Sa'ad berkata: "sungguh saya bikin hina mereka
sekarang" memberitakan kepadaku ikrimah dari ibnu Abbas secara marfu'
معلموا صبيانكم شراركم أقلهم لليتيم وأغلظهم على
المساكين
Guru-guru anak kecilmu adalah orang yang paling
jelek di antara kamu. Mereka paling sedikit sayangnya terhadap anak yatim dan
yang paling kasar terhadap orang-orang miskin
4. Perawi yang dikenal sebagai
pendusta meriwayatkan suatu hadits seorang diri, dan tidak ada perawi lain yang
tsiqah yang meriwayatkannya, sehingga riwayatnya dihukum palsu. Para kritikus
terkemuka telah mengungkapkan, mereka yang melakukan pemalsuan hadits, sehingga
tak seorangpun dari meraka yang luput dari keritikan para ulama.
b. Ciri-Ciri Pada Matan.
Menelusuri pemalsuan Hadis
secara akurat melalui matannya dapat dilakukan dengan menganalisa matan
tersebut. Unsur-unsur yang sering terdapat pada matan Hadis maudhu’ adalah:
1. Lemah Susunan Lafal dan Maknya
Salah satu tanda ke-mawdhu'an suatu
hadits adalah lemah dari segi bahasa dan maknanya. Secara logis tidak
dibenarkan ungkapan itu dating dari Rasul. Banyak hadits-hadits panjang yang
lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki keahlian bahasa dan
sastra memiliki ketajaman dalam memahami hadits dari Nabi atau bukan dari Nabi
yang biasa disebut dengan hadits maudhu'. Ar-Rabi' bin Khats' berkata
إن للحديث ضوءا كضوء النهار نعرفه وظلمة كظلمة
الليل ننكره
Sesungguhnya hadits itu bercahaya
seperti cahaya siang kami mengenalnya dan memiliki kegelapan bagaikan gelap
malam kami menolaknya.
2. Rusaknya Makna
Maksud rusaknya makna karena
bertentangan dengan rasio yang sehat, menyalahi kaedah kesehatan, mendorong pada
pelampiasan biologis dan lain-lain yang tidak bisa ditakwilkan. Misalnya
sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Al-Jauzai dari jalan Thariq Abdurrahman bin
Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya secara marfu':
إن سفينة نوح طافت بالبيت سبعا و صلت عند المقام
ركعتين
Bahwasanya perahu Nabi Nuh bertawaf
di bait (ka'bah) tujuh kali dan sholat di maqam Ibrahim dua rakaat
Hadits ini maudhu' karena
irrasional, tidak mungkin secara akal perahu melakukan berputar-putar (thawaf)
mengelilingi ka'bah 7 kali seperti orang yang sedang melakukan thawaf haji,
demikian juga melakukan shalat di maqam Ibrahim.
3. Bertentangan Dengan Al-Qur'an
Atau Hadits
Salah satu tanda hadits maudhu'
adalah menyalahi Alqur'an atau hadits dan tidak mungkin ditakwilkan, adapun
contoh hadits palsu yang bertentangan dengan Alqur'an misalanya:
ولد الزنا لا يدخل الجنة إلى سبعة أبناء
Anak zina tidak bisa masuk surga sampai tujuh
keturunan
Hadits di atas bertentangan dengan firman Allah
swt yang berbunyi:
ولا تزر وازرة وزر أخرى
Adapun hadits palsu yang
bertentangan dengan hadits misanya:
إذا حدثتم عنى بحديث يوافق الحق فخذوابه حدثت أو لم
أحدث
Hadits di atas jelas kepalsuannya,
karena bertentangan dengan hadits yang disabdakan Nabi:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Barang siapa yang mendustakanku
dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap karena tempat tinggalnya di dalam
neraka.
4. Bertentangan Dengan Realita
Sejarah
Misalnya hadits yang menjelaskan
bahwa Nabi memungut jizyah (pajak) pada penduduk khaibar dengan disaksikan oleh
Sa'ad bin Mu'adz padahal Sa'ad telah meninggal pada masa perang khandaq sebelum
kejadian tersebut. Jizyah disyari'atkan setelah perang Tabuk pada Nashrani
Najran dan Yahudi Yaman.
5. Mengandung Pahala Yang Besar
Bagi Amal Yang Kecil
Biasanya motif pemalsuan hadits ini
disampaikan para tukang kisah yang ingin menarik perhatian para pendengarnya
atau agar menarik pendengar untuk melakukan perbuatan amal sholeh. Tetapi
terlalu tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang
berlebihan, misalnya:
من صلى الضحى كذا و كذا ركعة أعطي ثواب سبعين نبيا
Barang siapa yang shalat dhuha
sekian raka'at diberi pahala 70 Nabi.[9]
BAB III
PENUTUP
Hadis maudhu’ adalah Hadis
yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah saw. ada beberapa faktor,
sebab dan tujuan yang mendorong seseorang memalsukan Hadis, seperti:
1. Untuk tujuan politik.
2. Fanatisme.
3. Ekonomi.
4. dan sebagainya.
Ada beberapa cara untuk
mengetahui apakah sebuah Hadis palsu atau tidak, baik dengan melihat ciri-ciri
pada sanad ataupun matan. Adapun ciri-ciri pada sanad adalah:
1.
Berdasarkan Pengakuan dari Orang Yang Memalsukan Hadits.
2.
Tanda-tanda Yang Bermakna Pengakuan
3. Adanya Bukti Pada
Hal-ihwal Perawi.
4.
Perawi yang dikenal sebagai pendusta
Sedangkan ciri-ciri pada matan
adalah:
1. Lemah Susunan Lafal dan
Maknya
2.
Rusaknya Makna
3.
Bertentangan Dengan Al-Qur'an Atau Hadits
4.
Bertentangan Dengan Realita Sejarah
5. Mengandung Pahala Yang
Besar Bagi Amal Yang Kecil
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta : Amzah, 2008
Dr.
Muhammad 'Ijaj Al-Khatib, Usul al-Hadith Ulumuhu wa Mustalatuhu, Bairut: Dar
al-Fikr, 2001
Dr.
Shalahudin ibnu Ahmad al-Adlabi, Tarj, Drs. H.M Qodirun Nur, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004.
Fathurrahman, Ikhtisar Mushtalah Hadis . Bandung:
al-Ma’arif, 1970.
Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh. Damaskus:
Dar al-Fikr, 1966.
Khatib, Ajjaj, as-Sunnah Qabla
at-Tadwin. Damasqus: Dar al-Fikr, 1981.
Kinani, Tanzih asy-Syari’at al-Marfu’at, jil. I.
Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1981.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar Masyriq, 1986.
Shidqie, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
Thahhan, Mahmud, Taisir Mushtalah al-Hadis. Beirut:
Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis. Jakarta:
Mutia Sumber Widya, 2001.
[6] Dr. Muhammad 'Ijaj
Al-Khatib, Usul al-Hadith Ulumuhu wa Mustalatuhu, Bairut: Dar al-Fikr, 2001, h.
428
[7] Nawir Yuslem, Ulumul,
h. 316. lihat juga Hasbi as-Shidqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974) dan Fathurrahman, Ikhtisar Mushtalah Hadis Bandung:
al-Ma’arif, 1970, h. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar